17 Jul 2012

Bunuh Dia atau Aku Pergi



“Aku sudah tidak tahan lagi, kamu bunuh dia atau aku yang pergi dari hidupmu!”

Semua hal yang kita tulis di blog ini adalah kisah kami ( aku dan Bun2), jadi aku menghimbau kepada orang yang membaca kisah ini hendaknya mempertimbangkan terlebih dahulu sehingga tidak ada efek samping yang di timbulkan setelah membaca kisah kami. Kalau hanya pusing dan mual-mual itu lumrah, tapi kalau sampai demam atau meriang silahkan hubungi dokter terdekat, hehehehe….

Apapun bentuk hubungan erat yang terjalin antara dua manusia pasti pernah mengalami satu titik jenuh, dimana masing-masing dari mereka terkadang kalah oleh egonya sendiri. Tidak terkecuali hubungan kami. Permasalahan kecil bahkan perdebatan sengit sering terjadi diantara kami yang berujung pada kata-kata perpisahan. Satu hal yang yang paling mendorong keluarnya kata “perpisahan” adalah karena emosi. Masing-masing dari kita punya emosi hanya kadarnya saja yang berbeda, kalau saya emosi biasanya cenderung diam dan Bun2 kebalikannya, kalau dia emosi reaksinya meledak. Kalau di umpamakan, kami ini seperti daratan dan lautan yang disinari matahari. Aku lautan dan Bun2 daratan, daratan lebih cepat panas dan cepat juga dinginnya sedangkan lautan lama panasnya dan lama juga dinginnya.

Namun terlepas dari emosi kami, sepertinya perasaan jauh lebih kuat di bandingkan dengan emosi. Saat emosi kami mereda, maka rasa haru menyeruak di hati masing-masing. Terlebih saat mengenang masa-masa kebersamaan kami yang sangat terbatas, dan langka. Momen terindah itulah yang melumerkan semua kekerasan ego dan emosi ini. Saya tahu bahwa sampai kapanpun kita tidak akan pernah mendapatkan pasangan terbaik, karena kebaikan dan kepuasan manusia sungguh tidak terbatas, tapi saya berusaha membuat apa yang kita jalani menjadi lebih baik. Ya hanya itu yang bisa kita lakukan, bukan mencari yang terbaik tapi menjadikan segala yang kita miliki menjadi lebih baik.

Hubungan LDR memang berat, terlebih saat salah satu diantara kita ada yang mengalami tekanan maupun masalah di lingkungan eksternal. Kehadiran partner sangatlah di butuhkan untuk menguatkan sekaligus tempat bersandar. Dan hal itu yang pernah memicu pertengkaran diantara kami. Aku belum bisa mendampingi Bun2 di kota D dan Bun2 pun tidak bisa pindah ke kota B tempat saya bekerja sekarang. Saya berusaha memahami keadaan Bun2 namun terkadang dia masih lepas control dalam emosi dan hal inilah yang menjadi titik terendah hubungan kita. Aku pun terpancing emosi, bukan malah meredakan emosi Bun2 tapi malah meninggalkannya. Membiarkan dia dengan emosinya dan membiarkan diri saya berdiam diri seperti orang bego. Sampai akhirnya saya mengajukan satu syarat untuk menyelamatkan hubungan ini, ya hanya satu syarat tapi sangat berat. Saya menyuruhnya untuk membunuh, membunuh musuh yang ada dalam dirinya yaitu emosi yang meluap-luap. Mungkin aku seorang pacar yang terlalu kejam, tapi di balik kekejaman ini aku punya maksud dan tujuan yang baik (maaf aku sedikit memuji diri sendiri). Aku tahu ini bukanlah hal yang mudah, tapi selama ada niat dan tekad untuk menjadi lebih baik (bukan yang terbaik) kita pasti bisa.

Kata orang bijak, mencintai bukan menjadikan orang yang kita cintai seperti apa yang kita mau.

Kata saya, mencintai bukan berarti mentoleransi hal-hal yang kurang baik.
Kalau cinta jangan takut untuk berubah menjadi lebih baik.


Everyday we learn, we love and we try to be better.

@AWD